Eksistensi Digital: Sok Berkelas, Aslinya Nggak Jelas
Makin ke sini, gaya hidup makin nggak ngotak. Pasak lebih besar daripada tiang sudah jadi hal lumrah, rentenir pun makin gencar datangin rumah. Di balik sikap angkuh mereka di dunia maya, realitanya justru banyak yang hidup dalam kesulitan finansial.
Mereka mau terlihat ber-value lewat kata-kata di platform digital, padahal aslinya melarat. Koar-koar nggak jelas, entah buat apa. Kalau sudah salah kaprah, paling ngandelin klarifikasi doang. Kirain udah selesai sampai situ, padahal jejak digital itu bisa dilacak.
Yang lebih lucu, dunia maya sekarang penuh dengan orang yang hobi flexing. Pamer gaya hidup mewah, padahal banyak yang modal utang. Foto kopi di kafe mahal, tapi dompet kering. Ngaku kerja keras, padahal masih nebeng orang tua. Pengen keliatan kaya, tapi lupa kalau cicilan udah numpuk.
Gaya hidupnya nggak seimbang sama isi kantong, tapi tetap ngotot ingin kelihatan lebih dari yang lain. Kenapa? Karena standar sosial zaman sekarang diukur dari apa yang diposting, bukan dari realita. Makanya, banyak yang memaksakan diri buat ngikutin tren biar dianggap berkelas.
Parahnya lagi, mereka yang paling sering menghakimi justru yang paling nggak bisa dikritik balik. Sok pintar, tapi argumen cuma modal Google dan TikTok. Kalau ada yang nggak sependapat, langsung dianggap musuh. Yang lebih kocak, ada yang hobinya nge-judge, tapi kalau kena kritik balik malah baper dan main drama. Akhirnya dalih klasik keluar, "Nggak semua bisa diterima, aku juga manusia."
Jadinya, dunia maya cuma ajang perang eksistensi. Gaya sok sultan, padahal ngutang sana-sini. Komentar pedas di tiap postingan, tapi kalau kena balik, baper nggak karuan.
Ngaku punya prinsip, tapi gampang goyah karena tren. Hari ini ngomong A, besok berubah jadi B karena ikut-ikutan. Hidup nggak punya arah, asal ikut apa yang lagi viral. Kalau udah kejebak, tinggal ngeles pakai alasan klasik, "Kan semua orang juga gitu?"
Padahal, kalau dipikir lagi, kenapa sih orang jadi gampang baper kalau dikritik? Jawabannya simpel, terlalu sibuk cari validasi. Kalau kritiknya nggak sesuai sama citra yang mereka bangun, langsung merasa terancam.
Sadar nggak sih? Yang kayak gini lama-lama bikin mental jadi lemah. Hidup cuma buat validasi, bukannya cari arti. Ngejar pengakuan dari orang lain, tapi lupa buat ngerti diri sendiri.
Mau sampai kapan?
Komentar
Posting Komentar