Gangguan Kesehatan Mental Menjadi Tren? Kok Bisa Sih?

Dalam beberapa tahun terakhir, obrolan soal kesehatan mental makin sering ya? Di berbagai platform digital seperti media sosial sampai di tongkrongan pun ini suatu hal yang biasa buat di bicarain. Banyak yang lebih terbuka ngomongin soal kecemasan, overthinking, depresi, bahkan sampai ke perihal gangguan bipolar lho! Terutama pada generasi milenial. Ini sebenarnya hal bagus karena dulu kesehatan mental dianggap hal tabu dan jarang dibicarain. Tapi, kok makin ke sini malah terasa seperti sesuatu yang nge-tren? Fenomena ini memunculkan perdebatan dari berbagai pihak, apakah ini hal baik atau justru kita harus waspadai.

Sebenarnya, kenapa sih malah menjurus ke arah tren? Padahal kesehatan mental bukan hal yang bisa dianggap sepele. Semua tahu, dulu ngomongin perihal masalah mental tuh rasanya berat banget. Orang takut di-cap lemah atau parahnya lagi dia dianggap gila. Untungnaya, sekarang stigma itu mulai berkurang. Banyak yang akhirnya berani speak-up dan cari bantuan.

Tapi disisi lain, ada juga yang kayaknya "kecanduan" pakai istilah kesehatan mental buat ngejelasin perasaan mereka setiap harinya. Sedih karena hal kecil? "Kayaknya aku depresi deh," atau sering berubah mood? "Fix aku bipolar," Padahal, diagnosa soal kesehatan mental itu tidak bisa sembarangan, lho! Butuh pemeriksaan dari profesional, bukan sekedar cocoklogi dari internet doang.

Gara-gara media sosial, informasi soal kesehatan mental makin gampang diakses. Mudah di jumpai pada platfrom digital, psikolog yang sharing edukasi. Ada juga orang-orang yang dengan senang hati berbagi pengalaman pribadi. Banyak yang beranggapan kalau ini bagus banget karena bikin banyak orang lebih peduli sama kesehatan mental.

Meskipun begitu, tidak semua informasi di internet bisa di percaya. Kadang ada orang yang bukan ahlinya tapi sok tahu, atau ada orang yang sharing pengalaman pribadinya tapi malah bikin orang lain overthinking. Yang lebih parah, ada juga yang sengaja "meromantisasi" gangguan mental seolah itu hal yang keren. Padahal buat mereka yang benar-benar ngalamin, ini bukan hal yang bisa dianggap enteng.

Self-Diagnosis : Makin Banyak yang Salah Kaprah!



Kalian pasti pernah ketemu sama postingan yang bahas ciri-ciri gangguan mental? Terus mikir, "Eh, aku kayaknya punya ini deh," Nah, ini yang bahaya. Kenapa? Karena Self-Diagnosis atau mendiagnosa sendiri tanpa konsultasi keahli bisa bikin kita salah paham tentang kondisi yang sebenarnya. Bisa jadi kita cuma stress biasa, tapi karena kebanyakan baca soal anxiety, jadi ngerasa punya gangguan kecemasan. Atau sebaliknya, ada yang benar-benar buttuh bantuan malah tidak ngeh karena nganggep dirinya cuma ikur tren.

Selain itu, Self-Diagnosis tidak bisa dijadikan patokan dan hanya sebagai langkah awal sehingga kita jadi males buat ke psikolog karena merasa sudah tahu. Meskipun begitu, Self-Diagnosis tidak hanya berkisar pada dampak yang kurang baik kalau dilakukan tanpa pemahaman yang benar. Maka dari pada itu, Self-Diagnosis hanya digunakan untuk tujuan :

1. Meningkatkan kesadaran diri.

2. Mendorong mencari bantuan profesional.

3. Membantu komunakasi dengan profesional.

4. Menjadi langkah awal untuk mengelola diri.

Survei pertama tentang kesehatan mental di Indonesia menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja berusia 10 hingga 17 tahun mengalami masalah kesehatan mental. Selain itu, 1 dari 20 remaja juga mengalami gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka ini setara dengan 15,5 juta remaja yang punya masalah kesehatan mental, dan sekitar 2,45 juta remaja yang mengalami gangguan mental dalam setahun terakhir. (Liputan berita oleh Gloriabarus, UGM)

Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki,” terang Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang merupakan peneliti utama I-NAMHS

Daripada cuma ikut-ikutan tren, lebih baik kita beneran paham dan tingkatin literasi dengan sumber yang kredibel. Kalau ngerasa ada yang tidak beres, mending cari bantuan ahli daripada cuma mengandalkan info dari media sosial yang belum tentu benar.

Kesehatan mental bukan sekedar topik hits, tapi sesuatu yang perlu ditangani dengan serius. Kalau tren ini bikin orang makin sadar dan peduli, tentu bagus. Tapi kalau cuma dijadiin gaya hidup tanpa pemahaman yang tepat, justru bisa ngerugiin.

Harus Khawatir atau Cuek Aja?

Jujur, kesehatan mental ini ada sisi positif dan negatifnya. Bagus karena orang jadi lebih aware dan berani cari bantuan. Tapi kalau sampai kebablasan malah dianggap jadi hal keren atau malah konten viral, ini yang parah banget menurut aku. Apalagi, kalau kita lihat teman-teman diluar sana yang lagi berjuang dengan gangguan kesehatan mental, ini bukan sesuatu yang mudah.

Kesehatan mental itu nyata dana serius, bukan sesuatu yang bisa asal-asalan diklaim atau dibuat gaya-gayaan. Kalau memang merasa ada yang tidak beres, tidak apa-apa kok buat cari bantuan. Tapi kalau cuma fomo, coba deh lebih bijak dalam menyerap informasi.

Bukan berarti kita tidak boleh bahas kesehatan mental, ya. Justru itu harus! Tapi pastikan kita belajar dari sumber yang benar dan tidak asal tempel label gangguan mental ke diri sendiri atau orang lain. Karena pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan hanya sekedar tren belaka, namun kesadaran yang beneran bisa bikin kita lebih sehat, baik secara mental maupun fisik.

Dan, buat teman-teman diluar sana yang lagi berjuang dengan penyakitnya. Terima kasih sudah bertahan sejauh ini, kami tahu kalian hebat! Tidak apa-apa kalau hari ini berat. Kamu tidak harus selalu jadi superhero, yang penting kamu tetap berdiri sampai saat ini. Jangan bandingin perjalananmu dengan orang lain. Pulih itu bukan lomba, tapi proses. 


 Satu langkah kecil setiap hari tetap lah kemajuan.

***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Efektivitas Tablet Tambah Darah pada Remaja Perempuan: Solusi Tepat atau Hanya Sementara?

Eksistensi Digital: Sok Berkelas, Aslinya Nggak Jelas